Selasa, 28 Januari 2014

Ekspresi Cinta Seorang Ustadz Rahmat Abdullah

Oleh: Asni Ramdani

Freedom!
Satu kata yang terucap dari lisan seorang ustad Rahmat Abdullah Rahimahullah, saat ustad Hilmi mengumumkan ketua majelis pertimbangan yang baru saja terdeklarasi di konferensi pers hasil musyawarah majelis syuro’ sebuah organisasi politik.
Cinta!
Satu kata penuh ekspresi yang didermakan seorang Rahmat Abdullah kepada adik semata wayangnya dengan segenap ketulusan dan kepedulian yang teramat dalam.
Ramai orang bersuara tentang Freedom – kebebasan, tanpa memindai hakikat kata benda tersebut secara gamblang. Kebebasan seringkali diartikan sebagai sebuah aksi pembelaan bagi mereka yang tengah haus akan hak dan gelora dispensasi yang tak berbatas. Padahal bila kita mau menyelami lebih dalam akan sebuah makna kebebebasan, nampaknya makna tersebut tidaklah identik dengan pembelaan diri atau suatu golongan yang terkesan vulgar. Kebebasan memiliki artian yang amat luas seperti kebebasan untuk berbicara, kebebasan untuk berekspresi, dan kebebasan untuk mencetak kata benda tadi menjadi sebuah kata kerja yang aktif menyeru pada misi kebaikan bersama.
Cinta adalah sebentuk ekspresi yang bila didefinisikan oleh sejuta umat manusia pun bisa jadi mempunyai makna serapan dan sasaran objek yang beragam. Namun ada satu hal yang dapat kita seragamkan dari arti kata tersebut. Kita dapat bermufakat bahwasanya cinta adalah bentuk ekspresi sebuah perasaan terhadap objek yang dituju dengan menumpahkan segenap kemampuan yang ia miliki disertai teknik yang benar. Ahsanu ‘amala- amal yang terbaik. Bila cinta adalah sebuah amal, maka sejatinya kita akan beramal dengan niat yang lurus dan cara yang benar. Ibarat sebuah pohon yang gagah berdiri untuk menaungi berbagai organisme di bawahnya, meski daun mulai berguguran dan kemarau tengah mencekam. Ya, cinta juga memiliki makna yang sama, ia akan tulus menaungi objeknya meski di luar sana banyak pedang musuh yang siap menghunus bahkan menerkam tanpa ampun.
Tersanjungkah kita bila pandai bercakap tentang bentuk kepedulian pada negeri kita Indonesia, namun naluri enggan memendarkan hakikat kepedulian tersebut, kita enggan mengikhtiarkan atau sekedar merenungkan. Banggakah kita bila mereka para pemuda di luar sana yang kala siang ia belajar dan bekerja dalam perut lapar karena shaum, atau berjuang dengan peluh keringatnya dan kala malam yang hening ia disibukkan dengan rintihan istighfar dan kedalaman munajat di rakaat-rakaatnya yang panjang. Sedang kita?
Ustad Rahmat Abdullah, seorang penuntut ilmu yang dikenal dengan semangat dan kerendahan hatinya pernah bertutur: “Di antara sekian jenis kemiskinan yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azzam dan tekad”. Itulah sepenggal kalimat seorang pemuda yang penuh dengan azzam dan kecintaan pada negeri dan keluarganya. Bila di luar terdapat sekumpulan pemuda yang memiliki gelora semangat untuk bebakti pada negeri dan agama maka ustad Rahmat pasti salah satu di antaranya. Bila di luar sana terdapat sekumpulan pemuda yatim yang sungguh berbakti pada ibu dan mencintai adiknya, maka ustad Rahmat pasti juga termasuk di dalamnya.
Sosok sederhana yang alim tersebut lahir di Kinungan, Jakarta Selatan, pada tanggal 3 Juli 1953. Ia dibesarkan di daerah yang kala itu masih masyhur dengan sebutan Betawi, bahkan hingga sekarang. Namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda, sedang penjajah Belanda telah jelas membuat jutaan jiwa pahlawan gugur dan warga Indonesia terpaksa terpasung dalam kemiskinan, ketakutan bahkan hingga terpaan siksa yang membuat jutaan nyawa melayang. Ia lebih bangga disebut sebagai orang Jayakarta (Jakarta) karena nama tersebut adalah nama yang diberikan oleh seorang Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta bentuk kebanggaan sebagai seoang penerus perjuangan terhadap warisan pejuang Islam.
Kecintaannya pada negeri, keluarga dan umat bahkan membuatnya merasa berat kala diminta melangkah dari tanah kelahirannya meski untuk mendalami ilmu agama. Awalnya ia memang merasa sangat bahagia mendapat tawaran melanjutkan pendidikan ke Mesir, bahkan surat-surat, buku dan kitab-kitab yang dibutuhkan telah terkemas rapi. Namun sebagai seorang muslim yang taat, ia memilih mengikuti hasil istikharahnya yang telah meyakinkan hatinya untuk tetap berada di Indonesia untuk menyirami tanah-tanah yang kala itu sangat haus dan tandus, untuk menyemaikan benih-benih unggul agar tumbuh menjadi pohon yang kokoh demi kejayaan negeri dan agamanya.
Di antara orang yang sangat merasakan ketulusan ustadz Rahmat adalah adiknya sendiri, Ahmad Nawawy nama lengkapnya. Kakaknya yang berjarak usia tiga tahun lebih tua benar-benar mempunyai harapan dan tanggung jawab teramat dalam terhadap sang adiknya. Bang Mamak, panggilan yang biasa diucapkan oleh Nawawy tidak hanya berperan sebagai seorang kakak, bahkan selepas ayah mereka tiada, ustad Rahmatlah yang menggantikan peran sebagai ayah dalam keluarga tersebut.
Kala itu Nawawy kecil sudah terjerumus ke dalam jurang pergaulan yang tidak baik, mulai dari kegemaaran sabung ayam hingga kebiasaan minum minuman keras. Ia bahkan keluar SD sebelum sempat melanjutkan hingga tamat. “Saya ini bandel sejak kecil. Saya terjerumus ke miras sejak tahun 1973, berapa tahun setelah keluar dari SD di kelas empat. Terjerumusnya itu karena lingkungan, ingin nyoba-nyoba. Waktu itu anggur kolesom. Setelah itu minum arak. Jarang yang kuat, bahkan teman-teman itu suka dengan arak karena kadar alkoholnya 32 %, kalau anggur kolesom itu hanya 12 %,” cerita Nawawy.
Dalam kekalutan dan kepiluan kala menghadapi keadaan adiknya, dalam lingkup lingkungan dan keadaan sadar yang mewajibkannya untuk terus menyampaikan pesan nabi, dalam kurun waktu perjuangan yang tak singkat itu, ustad Rahmat tidak pernah henti-hentinya berusaha, mengajak, menasihati dengan berbagai upaya, mencurahkan perhatian dan kasih sayang seorang kakak yang bersahaja dan bersahabat kepada adiknya, meski adiknya tak kunjung berubah ia tidak pernah bosan berjuang. Ia ingin agar adiknya yang sangat dicintainya, benar-benar keluar dari semua jalan yang sangat dibencinya itu.
Bentuk kepedulian ustad Rahmat di antaranya adalah dengan mengajak Nawawy pergi berjalan-jalan bila adiknya tersebut tengah mabuk, Nawawy sendiri tidak pernah bisa menolak. Ia mengakui bahwa tak ada seorang pun yang bisa menghalangi polah buruknya kecuali kakandanya, bahkan encingnya sendiri pun tak mempan. Tapi kalau sudah didatangi ustadz Rahmat, sang adik seperti dihipnotis, seketika ia berhenti dari ulahnya dan segera naik ke atas motor tuanya untuk beralih pergi dari aktivitas maksiat tersebut. Ustadz Rahmat juga gemar membawanya ke Taman Ismail Marzuki (TIM), itulah tempat pelarian yang disarankan kepada adiknya. “Di sini ada drama, ada bela diri ada banyak lagi yang positif,” iming-iming positif ustadz Rahmat selaku seorang kakak.
Kadang adiknya juga dibawa ke Cikoko, yakni sebuah padepokan silat di Jakarta. Tidak berhenti sampai di situ, agar benar terhindar dari kebiasaan buruk lingkungannya itu, ustadz Rahmat memasukkannya ke kursus Pusgrafin (Pusat Grafika Indonesia), waktu itu namanya PGI, dan bersyukur akhirnya Nawawy berhasil kursus beberapa bulan. Di sinilah letak esistensi cinta danmujahadah yang sungguh menyiratkan pembelajaran bagi kita para pemuda.
Suatu ketika Nawawy pernah menampar anak tetangga dan menyebabkan kakak ipar anak tersebut marah. Karena lebih dewasa dan tidak sanggup melawan, akhirnya nyaris, Nawawy mengambil pisau dan segera siap menunggu di depan rumah anak tadi. Beruntung kakaknya segera datang untuk mengajaknya pulang. Kakanya bernasihat, “Luka tamparan kamu itu besok juga hilang tapi hatinya tidak bisa, meskipun kamu minta maaf mungkin di depan dimaafin karena takut, tapi hati sangat membekas lukanya. Itu minta amal kamu di akhirat, itupun kalau amalnya banyak.” Rangkaian kata petuah tersebut rupanya teramat membekas bagi Nawawy.
Drama kehidupan rupanya belum tamat, perjuangan masih bertahan untuk dikerjar. Ayah mereka mewariskan usaha mesin cetak Hand-Press. Tetapi kemudian, ketika mereka ingin menjalankan usaha tersebut, buku tentang sablon masih jarang, kalau ada pun berbahasa Inggris. Karena keinginannya kuat untuk mencari nafkah melalui usaha sablon  yang diwariskan ayah mereka, maka dibelilah buku tersebut di Senen, Gunung Agung dan akhirnya diterjemahkan oleh ustad Rahmat. Pada ujungnya usaha itu mereka namakan ARACO (Abdullah, Rahmah/Rahmat/Rahmi Company). Kesibukan mulai mewarnai hari Nawawy, meski tetap ustad Rahmat yang biasa mencari order. Dari situlah kebiasaan buruk Nawawy mulai tersampungkan.
Benar, Nawawy mulai lebih baik, namun pergulatan batin seorang kakak belum usai. Candrarasa cinta ustad Rahmat kepada adiknya tak pernah pupus dan terhapus, meski  perih dan getir ia tetap mencintainya sepenuh hati, lebih dari sekadar rasa cinta seorang kakak yang mencoba menyeduhkan perhatian, tetapi cinta seorang hamba Allah yang mempunyai keyakinan, bahwa ingin agar adiknya merasakan manisnya jalan yang sama dengan saudara kandungnya yakni jalan orang-orang beriman. Oleh karenanya berbagai upaya ia lakukan. Termasuk menuliskan surat khusus dengan mesin ketik tuanya, melalui pos yang ia kirim dari Tebet.
Adikku, aku tak bisa mengatakan dengan pasti apa yang sedang kau jalani saat ini, kau lebih tahu mata orang banyak sekarang tertuju ke sebuah keluarga, keluarga kita yang pernah menjadi titik pandang orang banyak, tapi terserahlah. Nawawy adikku, satu hal yang harus kau pahami kita hidup tak sendirian di dunia ini, ada tata aturan yang mengikat yang bila dilanggar maka akan terasa sekarang juga, baik berupa kerugian kehormatan, kesehatan, apalagi yang bernilai. Marilah kita menarik pelajaran dari masa lalu, menarik manfaat, mensyukuri kenyataan baiknya, dan menghindari kenyataan ruginya agar tak terulang lagi. Saya yakin, betapapun jauhnya kita selama ini namun engkau tentu tidak menutup diri untuk satu dua patah kata dariku sebagai tanda bahwa saya masih punya hati untuk memahami dan menghayati perasaan orang lain. Maafkan daku atas segala kealpaan, terimalah kebenaran dari manapun datangnya.

Terima kasih. Salamku. Rahmat Abdullah.

Rabu, 22 Januari 2014

Karena Iman Hanya Dapat Disentuh Dengan Iman

Oleh: Saif Fatan

“Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta. Jika hamba-Ku mendekat kepadaku satu hasta, Aku akan mendekat kepada-Nya satu depa. Jika hamba-Ku mendatangiku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari"

(HR.Bukhari)

Dakwah bukan hanya sekedar syiar tanpa makna. Namun terdapat unsur yang teramat penting bernama keteladanan. Bayangkan jika seorang pejuang dakwah tidak memiliki sosok yang patut diteladani. Segala bentuk perangainya tidak membuahkan hasil sama sekali. Karena hati yang disentuh olehnya telah kaku karena tingkah lakunya yang tidak mencerminkan sebagai seorang teladan. Sebuah keniscayaan bahwa yang akan turun adalah azab Allah, bukan rahmat yang menyejukkan.

Seorang pejuang dakwah sangat memahami bahwasannya iman hanya dapat disentuh dengan iman. Akhlak yang baik hanya dapat diraih dengan jalan akidah yang benar sehingga kemudian terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah cara dakwah efektif Rasulullah selama kurang lebih 22 tahun membangun peradaban Islam di masanya. Membangun pondasi awal berupa penanaman akidah dan akhlaq para sahabat yang begitu terhujam kuat ke dalam hati. Sebagai efeknya akan melahirkan genarasi umat yang tidak memiliki kecacatan tekad sama sekali. 

Sehingga muncullah sosok seperti Abu Dzar Al Ghiffari sebagai orang yang lurus perkataannya. Seorang yang keras berjuang menegakkan kebenaran walaupun bertahun-tahun diasingkan di jazirah arab. Hingga akhirnya sempat terucap dari lisannya ketika ia menghadap raja di Mekkah yang dzalim “bahkan kalaupun anda meletakkan pedang di leher saya, dan ternyata masih ada sepatah kata yang Rasulullah ucapkan kepada saya dan wajib saya sebarkan. Maka saya akan mengatakannya walau akhirnya leher ini akan terhunus oleh pedang anda” Maha Pemurah Allah, yang telah menghujamkan kecintaan pada dakwah ke dalam diri insan mulia dari Ghiffar itu.

Orientasi akan sebuah akhir yang baik berupa akhirat akan menjadi nafas hidup bagi orang-orang meniti jalan mulia ini. Sang teladan sejati pernah mengingatkan bahwasannya jalan hidup kita tak akan mudah. Diorama dunia yang menggiurkan akan senantiasa menjadi batu penghalang ketika kita sedang berusaha memupuk keistiqomahan menuju akhir yang baik itu. Hanya Al Quran dan Hadits yang akan menjadi pedoman mereka sepeninggalnya beliau di dunia ini. Dua hal inilah yang harus menjadi pegangan paten bagi orang-orang yang ingin menelusuri jalan dakwah pada kehidupan ini dengan penuh keteladanan.

Menjadi teladan bukan sekedar memberikan contoh kebaikan. Namun harus melintasi dimensi kata yang bertransformasi untuk menjadi contoh kebaikan. Menjadi, bukan memberi. Karena menjadi teladan artinya kita mulai memupuk kualitas pribadi yang dicintai Allah dari dalam diri kita sendiri. Bukan memberikan contoh kepada orang lain yang didahulukan, namun memberikan contoh bagi diri sendiri. Karena sungguh, Allah tidak menyukai seorang hamba yang perkataannya tidak sesuai dengan apa yang ia perbuat. Petuahnya hanya sekedar kekosongan yang tak berarti. Kemudian kata-katanya menjadi usang, yang semakin lama akan membusuk tertelan waktu.

Cerita Sore dari Seekor Burung, Guguk dan Semangkuk Ukhuwah

Oleh: Alfina Dewi

Islamedia - Sore tadi karena kekenyangan, aku berleha-leha di dahan pohon. Aku hanya mondar-mandir mengisi waktu luang sebelum malam tiba. Sekali-kali bercicit dan melompat. Sepi sekali sore ini. Gerombolan manusia memasuki tempat makan dan cafe di daerah ini. Mereka biasa-biasa saja, bahkan banyak wanita yang memakai busana yang tidak layak. Apa-apaan.. mengganggu pemandangan saja, Tuhanku sudah mengingatkan lewat Al-qur’an kalau wanita harus menjulurkan jilbab, tapi kenapa wanita-wanita itu tidak? Aaaah.. merusak pemandangan saja.. 

Merasa bosan, mulai kupatuk dahan pohon. Tuk .. tuk.. tuk... Sebentar, apa itu? Aku penasaran membalikkan tubuh mengamati dari belakang daun, mengangkat kepala dan berkonsentrasi pada sesuatu di depan. 

Masya Allaaah... ada bidadari! Empat jumlahnya. Manis sekali, tersenyum begitu bersahaja, tawanya begitu renyah, berbalutkan jilbab, seolah ada gemerlap cahaya membersamai langkah mereka. Ya Allah, mengapa baru sekarang mereka datang? Membuat duniaku, seekor burung pipit kembali bersemangat, sungguh bidadari-bidadari cantik. Waaaaahh.... selama mereka melintas, tak henti-hentinya aku berdzikir menyebut namaMu ya Allah... 

@@@ 

Di sudut rumah besar berpagar tinggi, suasana sore begitu sunyi. Seekor guguk berbadan gempal sedang memejamkan matanya. Sore seperti ini lebih baik tidur bermalas-malasan daripada patroli keliling rumah. 

Hmmm..hmm..hmm.. perlahan guguk mengendus. Ada wewangian melintasi rumahnya. Setelah sebelah matanya mengintip, ia terperanjat. Ada sesuatu yang indah berjalan di depan rumah! Wangi ketaqwaan mereka begitu semerbak di hidung si guguk. Itu bidadari! Ia sangat ingin menyapa, tapi.. GUK! GUK! GUK! Astagaa.. Cuma itu yang bisa keluar dari mulutnya, mendadak sontak gerombolan bidadari itu berlari menjauh karena ketakutan. Si guguk kecewa. “Aku hanya ingin menyapa..”, gumamnya penuh kesedihan. Lalu menetes air matanya dan kembali duduk sampai terlelap. Dalam hatinya, ingin ia sapa lagi bidadari itu bila lewat depan rumah lagi. 

@@@ 

“Yaaah, si guguk begitu sih nyapanya... Siapa yang enggak takut? Salah dia sendiri, nyapa kok nyeremin.. Hiiiyy...”, gumam burung pipit yang melihat kejadian itu dari jauh. Matanya tak henti mengamati gerak-gerik empat bidadari yang makin mendekat padanya. Diam-diam ia siap untuk terbang di atas bidadari itu untuk meyapa ketika mereka berjalan tepat di bawah pohon yang ia hinggapi. Perlahan bidadari semakin dekat, burung pipit menghitung saat ia melompat. Satu.. Dua.. Tiii... Saat kakinya siap melompat, dan sayapnya siap dibentangkan, tak disangka keempat bidadari itu berbelok masuk ke warung mie baso. 

“TiiiiGaaa..... eits.. waaah, kok belok sih bidadariiiii?”, gerutu burung pipit protes. 

Keempat bidadari itu masuk ke warung mie baso meninggalkan burung pipit dan guguk yang sama-sama kecewa.. 
@@@ 

“Waaah horor banget sih tadi guguknyaa”, ujar mbak Sari masih sambil gemeletuk giginya begitu duduk di kursi. Ngeri. “Haha.. mbak Sari langsung ngacir gitu aja...”,sahut Ana sambil nyengir dikit-dikit. 

Sore itu, aku, Bunga, Ana, mbak Sari makan siang (makan sore dong harusnya?) di mie ayam mas Yudi (ups sebut merek). Tempat cukup favorit buat nongkrong anak-anak SMA ku. Kenapa harus di mie ayam mas Yudi? Soalnya Ana lagi gak enak badan, butuh yang anget-anget gitu. (sebenernya enggak juga sih hehe). Dan kami berempat sengaja jalan kaki dari SMA , padahal bisa naik motor dan setelah makan bisa langsung berpencar ke tempat tujuan masing-masing. Kenapa harus jalan kaki? Karena, kalau naik motor, gak akan ada episode burung pipit terpesona sama empat bidadari yang berjalan ke arahnya dong, belum lagi gak akan ada episode guguk nyapa bidadari sampai bidadari pada ngibrit. Nanti gak seru ceritanya... 

Dan sore itu empat mangkuk mie ayam, pangsit rebus dan dua tahu baso sukses jadi saksi ukhuwah kami berempat. Sudah lama rasanya, terlalu sibuk dengan urusan mentoring, dakwah, ujian, sampai acara makan siang bersama seperti ini saja terasa begitu bermakna. Obrolan mengalir begitu saja melemaskan urat syaraf yang selama ini tegang dengan ujian dakwah, urat itu mengukir senyum di wajah kami masing-masing. 

@@@ 

Indah. 

Ternyata bahagia itu sederhana. Hanya bersama mereka, mengobrol ringan dan tertawa bersama. Segala beban seketika hilang dan ikut menguap dengan kepulan asap dari panci mie baso. 

Melihat senyum di wajah-wajah saudara seiman itu, membuat yakin bahwa inilah bahagia sebenarnya. Alhamdulillah Allah perkenankan kita mencicipinya di dunia. Tertawa dalam dekapan ukhuwah. Mungkin sudah banyak kelelahan kita tanggung bersama, kepayahan dalam dakwah kita rasakan bersama, kesulitan kita pikul bersama. Dan saat ujian Allah itu telah lewat, tertawa bersama mereka bukan hal yang melemahkan hati. Tapi makin menguatkan iman dan mengeratkan ikatan ukhuwah. 

Imam Hasan Al Banna pernah berkata 

“Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokoh ikatan dan semulia-mulianya. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembarnya kekufuran. Kekuatan yang pertama adalah kekuatan persatuan; tidak ada persatuan tanpa cinta kasih; minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan maksimalnya adalah itsar” 
“Al Akh yang tulus,” lanjut beliau, “Melihat saudara-saudaranya yang lain lebih utama daripada dirinya.. Dan sesungguhnya serigala hanya makan kambing yang terlepas sendirian. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, yang satu mengokohkan yang lain.” 

Kemudian tersadar dan bergumam, “Sudahkah kita merajut tali ukhuwah? Berlandaskan aqidah dan menirukan sunnah? Membangun sebuah jama’ah untuk menguatkan dakwah?” 

@@@ 

Hari semakin sore, perut pun sudah penuh terisi, saatnya bertebaran lagi di muka bumi. Kami berempat kembali ke sekolah untuk mengambil motor dan bergegas menjalankan amanah selanjutnya. 

@@@ 

“Nah, itu dia bidadarinya!”, teriak burung pipit ceria, bisa melihat wajah-wajah teduh berbalut jilbab! Cantik sekali. Ya Allaah.. Terlihat kerutan di wajah mereka karena kerja-kerja dakwah, mereka bertemu dalam ketaatan, bersatu dalam perjuangan untuk menegakkan dienMu, maka kuatkanlah ikatan ukhuwahnya ya Allah, tegakkanlah cintanya, tunjukilah jalan mereka, terangilah dengan cahayaMu yang tiada pernah padam, karena sesungguhnya Engkaulah Pelindung dan Pembela.. 

Dengan khusyuk burung itu memanjatkan doa untuk hamba Allah yang begitu menarik perhatiannya. Sampai ia menyebut mereka bidadari. Setelah itu ia terbang, terbang, terbang kembali ke sarangnya sambil membawa hikmah untuk diceritakan pada keluarganya di rumah. Tentang bidadari-bidadari yang mengalihkan perhatiannya. 

@@@ 

“GUK GUK GUK!”, sekali lagi guguk menunaikan tekadnya yang kuat untuk menyapa bidadari yang lewat depan rumahnya lagi, tapi sayang, bidadari itu tidak paham bahasa guguk dan tetap berlari saat guguk itu menggonggong di depan mereka. 

@@@ 

Sampai kapanpun, keempat manusia yang disebut bidadari itu tidak akan pernah tahu apakah mereka benar-benar bisa menjadi bidadari di surga nantinya. Sementara tantangan dan ujian dakwah masih menanti di depan. Apakah mereka akan kuat berada di jalan dakwah, hanya Allah yang tahu dan hanya kepada mereka takdir itu dipasrahkan. Manusia begitu beruntung diberi pilihan oleh Allah melewati dua jalan di hidupnya. Jalan ketaatan yang membawa ke surga, atau jalan kesesatan yang membawa ke neraka. Tentunya barisan dakwah dengan akidah yang kuat dan erat dengan ukhuwah tidak akan membiarkan pejuang-pejuangnya berakhir di kubangan neraka. 
Wahai sahabat-sahabatku, khususnya pejuang-pejuang dakwah tercinta, teguhkan niat dan hati kita untuk menebar kebaikan di sekolah tercinta. Masih butuh kita mewarnai sekolah dengan keindahan islam. Masih jelas bangunan sekolah itu mengharapkan kerja keras tangan-tangan kita menyebarkan islam di seluruh penjurunya. Masih terlihat jelas wajah adik-adik kita yang haus ilmu dan butuh bimbingan kita. Jangan meninggalkan generasi yang lemah! Mari menyemai generasi tunas bangsa di negeri kita, tentunya bukan hanya aku dan kamu saja, tapi dia, mereka dan kita semua J 

@@@ 

Ingat kata-kata ustadz Salim A Fillah: “Jadilah kupu-kupu, jadilah pohon berbuah madu. Maka matahari akan mendekapmu, dalam hangat dan cahaya. Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit, lalu menebarkannya di bumi. Sungguh, di surga, mimbar-mimbar kemilau dan menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencintai karena Allah. Mari membangunnya dari sini, sebening prasangka, selembut nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji. Bahkan andai segala di sekitarmu gelap dan pekat, tidakkah kau curiga dirimulah yang dikirim Allah untuk menjadi cahaya? Maka berkilaulah! Senantiasa dalam dekapan ukhuwah.” 

Selasa, 14 Januari 2014

Naluri Kepahlawanan

oleh: Asni Ramdani

Fimadani.com - Tidak mudah merangkai kata menjadi sebuah makna yang ringkas dan bernas, seperti juga tak semudah bertutur dengan diksi alami yang bernurani dan menyejukkan hati. Umar bin Khattab pernah bernasihat: “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani”.

Dalam lingkup putaran waktu, sejarah tak pernah berhenti menyajikan kisah-kisah baru, menghimpun kumpulan peristiwa yang menjadi teladan umat manusia. Bukankah sejarah yang sesungguhnya merupakan industri para pahlawan? sedang kita sendiri seringkali terlalu cepat menerjemahkan apa itu arti “pahlawan”, baik pahlawan berupa sosok pemimpin atau orang biasa yang begitu penting bagi kita.

Dalam buku Mencari pahlawan Indonesia Anis Matta menuliskan: “Dalam skala peradaban, setiap bangsa bergiliran merebut piala kepahlawanan. Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja Allah “lahirkan” mereka di tengah situasi yang sulit. Poin pertama: kepahlawanan adalah piala yang direbut, sedang poin kedua: Allah melahirkan mereka di saat-saat yang sulit. Bila diresapi, jiwa kepahlawanan tentulah bukan sembarang pengakuan diri, pada kenyataannya Allah akan menghadiahkan piala yang direbut bagi mereka yang telah berusaha, hal ini tentu mengandung nilai perjuangan yang perlu diikhtiarkan dan tentu akan ada yang terkorban. Teringat sebuah lirik nasyid Sahabat Perjuangan yang dibawakan oleh munsyid Tazakka, berikut potongan liriknya:

Perjuangan itu artinya berkorban..
Berkorban itu artinya terkorban..
Janganlah gentar untuk berjuang..
Demi agama dan bangsa..
Inilah jalan kita..

Bila direnungi, sekilas tersirat nilai kepahlawanan dalam potongan lirik tersebut, Perjuangan itu artinya berkorban, berkorban itu artinya terkorban. Nampaknya syair tersebut ada benarnya, bahwasanya setiap yang berkorban pastilah ada yang terkorban, di sinilah hakikat pahlawan yang sebenarnya, situasi sulitlah yang menjadikan ia berbeda dengan obesi para pahlawan yang lain, di mana sebuah pencapaian membutuhkan peluh dan keikhlasan hati.

Pemberani

Pahlawan sejati adalah mereka yang pemberani, berani mengibarkan bendera Allah demi sebuah kebenaran hakiki. Ia akan senantiasa merendah dan menghargai sebuah pencapaian sekecil apapun itu, mensyukuri keadaan dan memaksimalkan potensi. Analoginya pahlawan terkadang seperti malaikat, senantiasa taat kepada Rabbnya. Sifat tersebut sebagian bisa kita temui di sekitar kita. Pernahkah kalian mendapati pahlawan yang paling dekat denganmu? Ia tak tertulis dalam sejarah dunia, namun terukir dalam catatan para malaikat.

Sebuah kenyataan, barangkali kita sering keliru dalam menyikapi sebuah fenomena di sekitar kita tersebut. Banyak orang berlomba menyeru kebaikan, namun tidak sedikit yang bermaksiat. Dalam hal ini seorang pahlawan tidak akan melihat seseorang yang tengah bermaksiat sebagai seorang musuh, pahlawan hanya akan berbatin: “Saudaraku itu tengah diculik oleh setan, maka aku perlu membantu untuk membebaskannya”. Dengan pemikiran tersebut, pahlawan tidak akan memposisikan dirinya lebih baik dari orang yang bermaksiat, justru ia akan mengartikan saudaranya tadi adalah tawanan setan yang perlu ditolong agar bebas dari jeratan anak iblis.

Bila benar keberanian merupakan fitrah yang tertanam pada diri seseorang atau karunia Allah yang diterimanya melalui sebuah proses latihan, maka semakin kemari keduanya akan semakin terpaku kuat pada diri dan keyakinan mereka. Sifat itu akan terlihat dari cerminan cinta terhadap prinsip dan jalan hidupnya, kepercayaan pada dunia akhirat dan kebenaran rindu yang menderu pada Allah Ta’ala – Tuhan semesta alam.

Pahlawan dari generasi sahabat mempunyai daya cipta sarana materi dalam tiga wilayah, “Di medan perang, dalam percaturan politik dan di dunia bisnis” papar Anis Matta. Bagi Abu Bakar dan Utsman bin Affan menginfakkan keseluruhan hartanya adalah hal yang biasa, karena mereka yakin pada kemampuan daya cipta sarana materi yang tidak lain adalah mutlak pemberian Allah, oleh karenanya ia tidak enggan bersedekah dan mantap untuk memulai usahanya kembali.

Memimpin dan Berbisnis

Bertutur Umar Bin Khattab, r.a. dengan kepiawaiannya: “Tak ada pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari bisnis.” Itu mengapa dalam kisah para sahabat, kita dapat mendapati bahwa sosok Umar bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf selalu menyedekahkan 50% dari hartanya untuk ummat. Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid; dari keduanya kita dapat mengambil pembelajaran bahwa seorang petarung dan pemimpin sejati, tak enggan untuk berbisnis, dan semua itu mereka lakukan untuk kontribusi pencapaian kesejahteraan ummat.

Ikhlas

Gambaran ini menjelaskan kita bahwa hakikat kepahlawanan amatlah luas dan bersinergi, di mana keikhlasan, pengorbanan dan keberanian tak bisa dipisahkan. Bijaknya kita dapat memetik hikmah dari kebijaksanaan para generasi sahabat, hingga bila kita letakkan pada keadaan nyata di pertarungan pemikiran pada masa kini, tentu dibutuhkan jiwa-jiwa pahlawan yang tulus dan bergairah, sehingga pantas meniru perjuangan para sahabat yang bukan hanya mampu memenangkan seluruh pertempuran, melainkan juga menciptakan kemakmuran setelah mereka berkuasa.

Pahlawan mukmin sejati tidak akan menyiakan energi mereka untuk memikirkan apakah nantinya ia akan diletakkan dalam sejarah kehidupan manusia atau diabadikan dengan liang lahat para pahlawan, karena tentu itu hanya harapan semu, yang mereka pikirkan tidak lain adalah bagaimana meraih gelar muttaqien di hadapan Allah SWT. Hal ini dapat diraih hanya dengan keikhlasan, karena inilah yang membedakan para pahlawan Allah dengan pahlawan sekuler, pada titik puncak mereka bisa jadi sama-sama dijerat dalam jeruji besi, bahkan tergantung dalam tiang gantungan, namun pahlawan sekuler hanya fana di dunia manusia, sedang pahlawan Allah akan terkenang di surgaNya.

Allahu a’lam bishowab

Sabtu, 11 Januari 2014

Pentingnya Sahabat bagi Iman Anak Kita

Oleh: Asni Ramdani


“Ketika yang dimiliki seorang anak bukan hanya pengetahuan melainkan iman maka hal tersebut akan menjadi sensor, ketika yang dimiliki hanya pengetahuan maka ia mampu menjelaskan banyak hal tetapi kurang peka apabila ada hal yang menyimpang dan merisaukan dari lingkungan sekitar, namun ketika ia memiliki iman maka ia akan berusaha untuk berbenah dan membenahi diri.” 
(Ustadz Mohammad Fauzil Adhim)

Islamedia - Berkah atau tidaknya segala sesuatu yang dapat menjawabnya adalah iman. Ketika dalam hati seseorang masih bersemayam iman maka segala hal yang mereka kerjakan akan berporos pada pencapaian keridhoan Allah. Iman yang ada dalam hati seorang anak adalah mutlak pemberian Allah, akan tetapi penanggung jawab utama sebagai penyuplai nutrisi iman mereka tidak lain adalah kedua orang tuanya.

Pembicaraan mengenai dunia anak nampaknya tidak akan pernah selesai dibahas, bahkan oleh "profesor" parenting sekalipun. Mengapa demikian? Karena amanah untuk mendidik anak sungguh tidak semudah menjalankan profesi yang lain, terutama tugas seorang ibu untuk membimbing anak dan menjaga nama baik keluarga sangat utama dibanding berbagai amanah lain yang memang tidak kalah penting.

Kita dapat memetik hikmah dari sebuah kisah persahabatan antara seorang anak  bernama Mohammad Husein dan Azzam Abdul Salam hingga beriak menjadi persahabatan kedua orang tua mereka yakni Ustadz Mohammad Fauzil Adzim dan Dr. Subhan Afifi. Husein dan Azzam adalah dua orang sahabat yang sama-sama mengenyam pendidikan di sebuah pesantren. Azzam adalah anak yang cukup pendiam sedangkan Husein cukup bersemangat, meski mempunyai karakter yang berbeda namun keduanya saling melengkapi. Suatu ketika saat di dalam mobil mereka mendiskusikan masalah hukum status gambar makhluk hidup yang tertuang dalam cover buku ayahnya, pembicaraan mereka merembet sampai masalah iltizam terhadap sunnah. Saat itu ayahnya yang tengah menyetir mobil hanya bisa berpura mengalihkan perhatian sambil terharu, lalu Husein hanya menjawab dengan dialog bahasa Arab mereka, yang intinya: "Abah ana hanya menulis, bukan mengemasnya", kholas - selesai.

Kisah kedua masih tentang persahabatan, suatu ketika Azzam dan Husein kecil yang masih duduk di kelas 1 tersebut tengah berada dalam sebuah angkot, saat itu Husein berkata suatu hal yang kurang baik, lalu ummu Azzam mengirimkan sms pada suaminya agar ia menyampaikan kejadian tadi kepada ayah Azzam sehingga putranya dapat diberikan nasihat. Sejak saat itu terjalinlah komitmen mendidik anak yang saling menyokong antara kedua orang tua Azzam dan Husein. Dari kedua potongan kisah tadi kiranya terdapat sebuah ibroh yang dapat kita petik akan pentingnya peran orang tua dalam pengetahuan yang berlandaskan iman.

Ustadz Fauzil Adhim menyampaikan, “Menyiapkan pendidikan anak itu tidak bisa instan, kalau semua serba instan bisa jadi hasilnya pun akan serba instan juga. Menyiapkan pendidikan anak justru sejak kita mencari pasangan, setelah menikah sampai telah dikaruniai anak-anak”. Bagaimana memilih sahabat untuk anak rupanya perlu diperhatikan dalam ikhtiar persiapan nutrisi iman bagi mereka, sahabat seorang anak mempunyai pengaruh yang luar biasa, terlebih bila kedua orang tua mereka juga ikut bersahabat, "itu akan sangat dahsyat", papar Ustadz Dr. Subhan Afifi. Karena harapan kita persahabatan bukan hanya terukir di dunia melainkan sampai di akhirat.

Mengutip Pesan nabi: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholih” (HR. Muslim no. 1631)

Poin ketiga dari hadist tersebut adalah do'a anak sholih. Catatannya adalah setiap anak harus menjadi sholih dahulu agar mau mendoakan kedua orang tuanya. Tentunya untuk menjadikan anak sholih bukanlah hal yang mudah, terlebih kita sendiri masih tertatih mensholihkan diri, meski begitu bukan tidak mungkin untuk mewujudkan harapan tersebut, karena bukankah kesholihan seorang anak mutlak ketentuan Allah? Sebagai pembina atau orang tua kita bertugas memberikan peringatan dan pola pengasuhan serta pendidikan yang terbaik. Hal ini dapat diwujudkan dengan proses yang tidak cepat, belajar parenting sejak dini bukan secara instan, sehingga layaklah disebut sebagai tipe orang tua pejuang.

Mudahnya ciri orang tua pejuang antara lain ketika seorang ibu memilih melahirkan dengan normal dan sepenuh hati merawat kandungannya, mulai dari telaten menjaga jabang bayi, menjaga kesehatan diri, hingga proses melahirkan. Dalam proses ini seorang ibu pejuang tidak takut untuk merasakan rasa sakit, bahkan bisa jadi sakit yang luar biasa. Meski begitu di luar sana bukankah jutaan ibu tetap tersenyum selepas melihat bayinya lahir. Di sisi lain salah satu ciri ayah pejuang adalah dengan keberanian memilih budaya belajar anak dengan sebuah proses panjang hingga tertuang pengetahuan dan iman pada anak, bukan semata mengejar prestasi dan nilai, dalam hal ini seorang ayah akan senantiasa memberikan siraman pendidikan agama bagi anak, karena tidak ada kedewasaan dan kemampuan disertai iman yang terbentuk secara instan tanpa persiapan, begitu petuah yang Ustadz Faudzil dan Dr. Subhan paparkan.

Sedikit renungan, apalah yang kita harapkan kala usia kita sudah senja nanti? ketika tubuh kita sudah tak leluasa untuk digerakkan selain kehadiran dan do'a mereka. Nampaknya pertanyaan itu dapat terjawab ketika kita sebagai orang tua nanti sungguh ikhlas memperhatikan dan membimbung anak-anak kita, bukan justru pembantu atau asisten yang lebih dita’ati oleh anak tersebab kealpaan kita dalam menyeduhkan perhatian kepada mereka. Terakhir, ada sebuah pertanyaan yang patut untuk kita renungkan: Siapakah yang akan mereka sembah setelah orang tuanya tiada? Membekalkan iman? iman kita teramat kerdil, membekalkan ilmu agama? miskin sekali pengetahuan agama kita. Di sisi lain, di luar sana banyak tawaran-tawaran menarik terkait trik membentuk diri agar anak menjadi seorang yang pintar dan hebat secara cepat. Bismillah, sebagai seorang anak yang peduli dengan perjuangan para orang tua, mari bersama terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik di mata Allah.
Allahu a'lam Bishawab.

Dan [ingatlah] ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan [Allah] sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Luqman [31]:13)

Rujukan (maraji’): Buku Segenggam Iman Anak Kita

Kamis, 09 Januari 2014

Selamat Jalan Saudaraku, Kang Aden Edcoustic

Oleh: Alfina Azzahra



Islamedia - Untuk mereka yang telah mencicipi indahnya keimanan dan ketakwaan, lepas sejengkal darinya, sadar atau tidak, sebenarnya adalah sebuah kepiluan dan kepahitan. Mendapatkan keimanan bukan hal yang mudah. Keimanan adalah emas, berlian, dan harta karun yang tak ternilai harganya. Yang sejatinya hanya perlu di gali di dasar hati kita.



Ingatan  saya terbang ke masa lalu, tujuh tahun yang lalu. Saat keimanan belum peka dan bercahaya dalam hati saya. Memang saat ini pun keimanan ini masih compang-camping. Tapi, minimal iman itu sudah berhasil digali dan bersemayam di hati.

Kepada  hal yang dirasa menjadi perantara datangnya hidayah Allah dan merasuknya iman ke hati seseorang, tak apalah bersyukur dan berterima  kasih banyak padanya. Dan grup musik religi ini, lewat alunan nada dan melodi indahnya, mencoba membantu menumbuhkan dan menguatkan iman di dasar hati manusia. Menguatkan lewat syair  dan temponya.

Namun, sekarang  sang maestro telah tiada.

Terlihat dari syair lagunya, begitu rindunya dia dengan Sang Pencipta. Maka, telah Dia persembahkan juga kado terindah untuk maestro kita. Semoga surga telah tersedia untuknya.

Bait-bait puisi ini untuk mengenang jejak perjuangannya, berusaha  teguh merambah dakwah di ranah yang lebih luas. Ranah seni, dimana justru banyak manusia menduakan dan melupakan Sang Pencipta di ranah ini.

Melodimu masih terngiang di telingaku
Getar pita suaramu masih terasa lewat bait-bait lagu
Keinginan hatimu masih terbaca kala kucoba heningkan qalbu
Luapan emosimu masih meletup, saudaraku..
Saudaraku...
Entah sudah beribu kesempatan terlewati untuk melihatmu
Beribu praduga tercatat malaikat tentangmu
Beribu syak wasangka memenuhi benakku
Juga beribu ucapan hebat terkulum dalam mulutku
Saudaraku..
Aku tahu kau mencoba mengajarkan
Cinta abadi di dunia
Lewat nada dan syairmu
Mencoba membuat hati manusia menggenggam iman dan terteduh
Banyak manusia menulis melodi untuk menduakan Penciptanya
Bertebaran anak manusia menggubah nada untuk melupakan nikmatNya
Tapi..
Goresan melodi di kertasmu adalah buah karya pengabdian pada Sang Pencipta
Alunan nada syairmu menggambarkan wujud syukur nikmatNya
Tabungan duniamu kiranya telah cukup
Hingga Allah memanggilmu karena rinduNya yang sangat padamu
Seperti Thalhah ..
Sang syahid yang masih hidup
Lagumu semoga selalu hidup di hati-hati insan yang rindu  pada Penciptanya.. 
Lagumu semoga menopang keimanan dan sebagai alunan amal jariyah bekal ke surga.. 
Saudaraku..
Selamat jalan.. 
Selamat berpulang..


"Selamat Jalan Saudaraku"
Puisi ini dibuat untuk mengenang perjuangan Kang Aden edCoustic