Minggu, 02 Februari 2014

Sayap Kematian

 Oleh: Agus Setiadi          

              Sayap ada di mana-mana. Awalnya aku tidak mempercayai apa yang aku lihat. Apa aku bermimpi?  Bagaimana mungkin manusia mempunyai sepasang sayap yang samar-samar di punggungnya? Pertama kali aku melihat sayap-sayap itu saat kelas X. Entahlah bagaimana bisa aku melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
            “Kau jangan ngaco, Jun. Mana ada manusia bersayap? Kau pikir ini negeri dongeng?” kata Andy saat aku menceritakan apa yang kulihat waktu itu.
Aku sempat berpikir, mungkin aku gila. Lama-kelamaan bukan hanya manusia yang memiliki sepasang sayap, tapi juga kucing peliharaan Maya, tetanggaku, bahkan sapi peliharaan Ayah. Aku melihat juga melihat sepasang sayap di punggung Ayah dan Ibu. Sayap putih yang berkilau indah. Aku juga bisa melihat sayap yang samar ada di punggungku. Aku tidak bisa menyentuh sayap itu, tapi aku melihatnya dengan jelas.
            Awalnya aku risih dengan sayap-sayap itu, tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Dan kini, saat aku kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri bergengsi di kota besar, aku sudah sangat terbiasa dengan pemandangan manusia-manusia bersayap. Rupa sayap yang selama ini aku lihat beraneka macam. Ada yang sama berkilaunya dengan sayap kedua orangtuaku, ada juga sayap yang berwarna hitam.
            Sejak pertama aku bisa melihat sayap-sayap itu, hingga kini aku masih belum mengerti apa maknanya. Yah.. aku anggap saja itu sebagai karunia dari Sang Pemberi yang tidak semua orang mendapatkannya. Suatu sore, aku tengah duduk-duduk di halaman kos sambil memainkan ponsel. Aku menikmati pemandangan jalanan sore tepat di depan kos yang selalu saja ramai. Orang-orang yang seharian lelah beraktivitas. Aku lihat sepasang sayap seorang penjual koran yang sibuk menawarkan dagangannya sore-sore begini. Sama seperti sayap Ayah dan Ibuku. Kenapa sayap di punggungku tidak putih berkilau seperti itu ya? Sayapku terlihat biasa saja. Tidak berkilau, tidak juga terlihat hitam.
            Andy datang ke kosku dengan motor barunya. Motor yang dibelikan oleh ayahnya dua minggu lalu. Sayap di punggung Andy agak kehitam-hitaman.
            “Tumben Ndy, mampir ke kosku?”
Andy sama sepertiku sebagai perantauan ilmu. Hanya saja beda kampus.
            “Jun, kau sore ini selo nggak?”
            “Seperti yang kau lihat.”
            “Nah, kebetulan. Ikut aku yuk, Jun.”
            “Kemana?”
            “Ikut aja. Malam minggu lho, Jun. Mau sampai kapan kau malam mingguan di kosan terus?”
Iya juga sih apa kata Andy. Selama aku duduk di bangku kuliah, belum pernah sekalipun aku melewatkan malam Minggu di tempat lain kecuali di kos. Malas saja rasanya.
            “Tenang Jun, nanti kau ikut motorku,” kata Andy seolah membaca kekhawatiran yang sempat melintas di benakku. Salah satu alasan aku malas kemana-mana saat malam Minggu –dan juga kegiatan main-main lain- adalah karena aku tidak ada kendaraan sendiri. Beruntung jarak kos dan kampus dekat. Cukup 10 menit berjalan kaki.
            “Tapi bentar lagi maghrib, Ndy.”
            “Ah, itu gampang. Nanti disana juga bisa sholatnya.”
Aku mengiyakan ajakan Andy. Setelah mengganti kaos oblong dan celana pendekku, aku dan Andy segera meluncur meninggalkan kos. Andy mengajakku ke suatu tempat yang bertuliskan “Elektra” dengan huruf-huruf besar yang menyala di depannya. Aku hanya mengikuti langkah kaki Andy. Seperti kerbau dicucuk hidungnya.
            Ternyata Andy mengajakku ke sebuah tempat yang orang-orang sebut diskotik atau apalah namanya. Seumur hidup, baru kali ini aku masuk ke dalamnya. Sama sih seperti yang digambarkan di televisi. Tempat yang hanya diterangi lampu aneka warna yang berputar-putar ke seluruh ruangan. Ini masih sore tapi suasana di dalam begitu hingar-bingar.
            Andy tampak berjabat tangan dengan beberapa orang. Mungkin teman kampusnya. Setelah itu Andy mengenalkanku kepada mereka. Salah satu teman Andy, seorang cewek berambut sebahu tampak tersenyum manis kepadaku. Namanya Selena. Nama yang cantik, secantik orangnya.
            Aku tidak menyangka Andy yang selama ini aku kenal ternyata bersikap seperti ini. Sejak tadi berteriak, tertawa tidak jelas sambil merokok. Aku sendiri hanya mendengarkan dan sesekali ikut tertawa walau sama sekali tidak mengerti dengan apa yang mereka tertawakan. Mataku tanpa sengaja bertemu dengan mata Selena. Cewek itu masih saja tersenyum manis kepadaku.
            “Juna, mau?” Selena menyodorkan segelas minuman kepadaku.
Aku akan menolaknya tapi Andy menyelanya, “Minum aja, Ndy. Jarang-jarang lho Selena traktir minum. Iya nggak Men?” Teman-teman Andy kembali tertawa. Salah satu dari mereka menenggak minuman yang sama dengan minuman di tangan kanan Selena. Saat cewek itu duduk di sampingku, aroma parfum yang begitu khas, langsung masuk ke lubang hidungku. Sungguh menyengat. Mungkin satu botol parfum sekali semprot.
            Aku melirik jam di ponselku. Mataku terbelalak. Sepuluh menit lagi jam 7. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya? Aku belum sholat maghrib.
            “Ndy.. Ndy.. sholat yuk? Keburu isya ini,” kataku sambil mencolek pundaknya.
            “Apa?” kata Andy setengah terpejam sambil mendekatkan telinganya kepadaku.
            “Juna, minum ini dulu dong. Penawaran special dariku.” Selena masih saja memegang gelas minuman di tangannya.
            “Ah, maaf… Se.. Selena.. nanti saja.” Aku mencoba menolaknya secara halus. Walaupun aku baru pertama kali datang ke tempat seperti ini, aku tidak bodoh untuk menebak kalau minuman itu mengandung alkohol. Sangat biasa di tempat-tempat seperti ini. Seperti film-film di televisi.
            “Jun, minum  dululah. Masa kau tega nolak traktiran dari Selena? Kau jangan bego jadi cowok,” kata Andy sambil menghembuskan asap nikotin ke arahku.
            “Tapi Ndy, kita belum…”
            “Iya.. iya.. aku ngerti. Sekarang kau minum dulu minuman itu. Setelah itu baru nanti…”
            “Silakan Juna. Nggak apa-apa kok. Minuman ini nggak ada racunnya dan dijamin mantap,” kata Selena sambil tertawa. Bahkan tawanya pun sangat manis.
Yah.. mungkin sesekali mencobanya tidak masalah. Hanya satu gelas juga.
            “Bagaimana rasanya?”
Pahit di tenggorokan. Minuman apa ini? Kenapa Andy dan teman-temannya terlihat begitu menikmati?
            “Sekali lagi Jun. Satu gelas mana terasa,” kata Andy sambil menggak habis minuman di dalam gelasnya. Selena juga menyodorkan satu gelas lagi kepadaku. Tetap dengan senyumnya yang sangat manis. Aku menerima gelas itu dan cairan di dalamnya kembali masuk ke tenggorokanku untuk yang kedua kalinya.
[]
            Hati manusia memang bisa dibolak-balik oleh Sang Pencipta. Ujian hidup manusia memang beragam. Kau pasti sudah bisa menebak bagaimana Juna setelah itu? Ya, kau benar. Juna mulai menikmati dunia barunya bersama teman SMA-nya, Andy. Uang saku yang dikirim orangtua Juna setiap bulan, selalu habis secara kilat. Juna selalu mempunyai seribu alasan untuk membohongi kedua orangtuanya. Tanpa ia sadari, sepasang sayap di punggungnya mulai berubah menjadi hitam.
[]
            Aku baru sadar dengan sayap di punggungku yang sekarang berubah. Aneh. Kenapa jadi hitam begini? Ah, masa bodohlah. Sebentar lagi Selena akan datang menjemputku. Malam ini mungkin malam terakhir kekasihku yang cantik itu datang menjemput karena Ayah sudah berjanji akan mengantarkan motor baru akhir minggu depan ke kos. Sebenarnya selama ini aku berusaha menelan gengsi mati-matian. Sengaja bermuka tembok mendengar ejekan beberapa teman kos yang melihatku di jemput Selena. Seharusnya aku yang menjemputnya. Yah.. mau bagaimana lagi? Masa aku harus menjemput Selena pakai angkot? Yang benar saja? Sama sekali tidak keren.
            Selena sudah datang. Ia memang selalu cantik. Tidak salah memang aku menjadikannya sebagai pacar. Beruntung sekali aku ini. Padahal banyak cowok yang mengincar Selena, tapi aku, cowok biasa tanpa kendaraan pribadi yang memenangkan hatinya. Ah, cinta memang tidak butuh logika, seperti sebuah lagu yang penyanyinya aku lupa namanya.
            “Sudah siap, Say?” kataku sambil melihat Selena yang duduk manis di belakangku.
            “Yuk.” Cewek itu melingkarkan kedua tangannya di perutku. Aku tersenyum sambil menarik gas pelan. Motor pun melaju dengan cepat setelahnya.
[]
            Juna memang hingga detik ini tidak tahu apa makna dari sayap-sayap yang selama ini ia lihat. Sang Maha Tahu memang sengaja merahasiakannya. Ia hanya memberikan kemampuan istimewa itu saja tanpa harus memberinya pengertian. Juna juga tidak sadar sayap di punggungnya, juga sepasang sayap di punggung Selena, pelan-pelan mulai berjatuhan seperti terbawa angin oleh motor yang melesat menembus jalanan malam.
            Ya, Juna memang tidak tahu karena Sang Pemilik Rahasia telah merahasiakannya.
[]
            Selena semakin erat memeluk perutku. Aku tersenyum dibuatnya. Ah, malam ini benar-benar indah. Selena memang selalu membuatku senang. Aku semakin semangat memutar gas di tangan. Aku ingin malam ini tidak akan pernah berakhir.
[]
            Sang Penulis Takdir memang telah menuliskan takdir Juna seperti ini. Kematian memang tidak ada yang tahu kapan datangnya kecuali Sang Pemilik Kehidupan yang menuliskan garis takdir setiap makhluknya. Ya, kau benar. Motor yang dikendarai Juna mengalami kecelakaan. Malam itu memang jalanan cukup lengang. Juna dengan santainya menerobos lampu merah, tanpa menyadari ada mobil yang melaju kencang dari arah kiri.
            Sepasang sayap di punggung Juna dan Selena sempurna berguguran. Kini punggung keduanya tidak lagi memiliki sayap. Juna dan Selena terkapar kaku di jalanan yang sepi dengan merah darah di mana-mana.
            Sayap itu adalah tandanya. Sayap yang berguguran adalah takdir yang akan segera berakhir. Ya, itulah sayap kematian. Sayap putih adalah tanda keimanan. Semakin berkilau sayap itu, artinya semakin dekat sang pemilik sayap dengan Sang Maha Pemberi. Sebaliknya sayap hitam adalah tanda bahwa pemiliknya semakin jauh dari Sang Pencipta.
            Andai Yang Maha Tinggi memberi tahu rahasia itu kepada Juna. Tentu saja mustahil karena rahasia itu selamanya akan tetap menjadi rahasia. Tidak ada satupun makhluk yang boleh mengetahui rahasia itu. Biarlah tetap menjadi rahasia. Rahasia-Nya.[]


Yogyakarta, 3 Januari 2014