Oleh: Agus Setiadi
Sayap ada di mana-mana. Awalnya aku tidak mempercayai apa
yang aku lihat. Apa aku bermimpi? Bagaimana mungkin manusia mempunyai sepasang
sayap yang samar-samar di punggungnya? Pertama kali aku melihat sayap-sayap itu
saat kelas X. Entahlah bagaimana bisa aku melihat sesuatu yang tidak bisa
dilihat oleh orang lain.
“Kau
jangan ngaco, Jun. Mana ada manusia bersayap? Kau pikir ini negeri dongeng?”
kata Andy saat aku menceritakan apa yang kulihat waktu itu.
Aku sempat berpikir, mungkin aku gila. Lama-kelamaan
bukan hanya manusia yang memiliki sepasang sayap, tapi juga kucing peliharaan
Maya, tetanggaku, bahkan sapi peliharaan Ayah. Aku melihat juga melihat
sepasang sayap di punggung Ayah dan Ibu. Sayap putih yang berkilau indah. Aku
juga bisa melihat sayap yang samar ada di punggungku. Aku tidak bisa menyentuh
sayap itu, tapi aku melihatnya dengan jelas.
Awalnya
aku risih dengan sayap-sayap itu, tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Dan
kini, saat aku kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri bergengsi di kota
besar, aku sudah sangat terbiasa dengan pemandangan manusia-manusia bersayap.
Rupa sayap yang selama ini aku lihat beraneka macam. Ada yang sama berkilaunya
dengan sayap kedua orangtuaku, ada juga sayap yang berwarna hitam.
Sejak
pertama aku bisa melihat sayap-sayap itu, hingga kini aku masih belum mengerti
apa maknanya. Yah.. aku anggap saja itu sebagai karunia dari Sang Pemberi yang
tidak semua orang mendapatkannya. Suatu sore, aku tengah duduk-duduk di halaman
kos sambil memainkan ponsel. Aku menikmati pemandangan jalanan sore tepat di
depan kos yang selalu saja ramai. Orang-orang yang seharian lelah beraktivitas.
Aku lihat sepasang sayap seorang penjual koran yang sibuk menawarkan
dagangannya sore-sore begini. Sama seperti sayap Ayah dan Ibuku. Kenapa sayap
di punggungku tidak putih berkilau seperti itu ya? Sayapku terlihat biasa saja.
Tidak berkilau, tidak juga terlihat hitam.
Andy
datang ke kosku dengan motor barunya. Motor yang dibelikan oleh ayahnya dua
minggu lalu. Sayap di punggung Andy agak kehitam-hitaman.
“Tumben
Ndy, mampir ke kosku?”
Andy sama sepertiku sebagai perantauan ilmu. Hanya saja
beda kampus.
“Jun,
kau sore ini selo nggak?”
“Seperti
yang kau lihat.”
“Nah,
kebetulan. Ikut aku yuk, Jun.”
“Kemana?”
“Ikut
aja. Malam minggu lho, Jun. Mau sampai kapan kau malam mingguan di kosan
terus?”
Iya juga sih apa kata Andy. Selama aku duduk di bangku
kuliah, belum pernah sekalipun aku melewatkan malam Minggu di tempat lain
kecuali di kos. Malas saja rasanya.
“Tenang
Jun, nanti kau ikut motorku,” kata Andy seolah membaca kekhawatiran yang sempat
melintas di benakku. Salah satu alasan aku malas kemana-mana saat malam Minggu
–dan juga kegiatan main-main lain- adalah karena aku tidak ada kendaraan
sendiri. Beruntung jarak kos dan kampus dekat. Cukup 10 menit berjalan kaki.
“Tapi
bentar lagi maghrib, Ndy.”
“Ah, itu
gampang. Nanti disana juga bisa sholatnya.”
Aku mengiyakan ajakan Andy. Setelah mengganti kaos oblong
dan celana pendekku, aku dan Andy segera meluncur meninggalkan kos. Andy
mengajakku ke suatu tempat yang bertuliskan “Elektra” dengan huruf-huruf besar
yang menyala di depannya. Aku hanya mengikuti langkah kaki Andy. Seperti kerbau
dicucuk hidungnya.
Ternyata
Andy mengajakku ke sebuah tempat yang orang-orang sebut diskotik atau apalah
namanya. Seumur hidup, baru kali ini aku masuk ke dalamnya. Sama sih seperti
yang digambarkan di televisi. Tempat yang hanya diterangi lampu aneka warna
yang berputar-putar ke seluruh ruangan. Ini masih sore tapi suasana di dalam
begitu hingar-bingar.
Andy
tampak berjabat tangan dengan beberapa orang. Mungkin teman kampusnya. Setelah
itu Andy mengenalkanku kepada mereka. Salah satu teman Andy, seorang cewek
berambut sebahu tampak tersenyum manis kepadaku. Namanya Selena. Nama yang
cantik, secantik orangnya.
Aku
tidak menyangka Andy yang selama ini aku kenal ternyata bersikap seperti ini. Sejak
tadi berteriak, tertawa tidak jelas sambil merokok. Aku sendiri hanya
mendengarkan dan sesekali ikut tertawa walau sama sekali tidak mengerti dengan
apa yang mereka tertawakan. Mataku tanpa sengaja bertemu dengan mata Selena.
Cewek itu masih saja tersenyum manis kepadaku.
“Juna,
mau?” Selena menyodorkan segelas minuman kepadaku.
Aku akan menolaknya tapi Andy menyelanya, “Minum aja, Ndy.
Jarang-jarang lho Selena traktir minum. Iya nggak Men?” Teman-teman Andy kembali tertawa. Salah satu dari mereka
menenggak minuman yang sama dengan minuman di tangan kanan Selena. Saat cewek
itu duduk di sampingku, aroma parfum yang begitu khas, langsung masuk ke lubang
hidungku. Sungguh menyengat. Mungkin satu botol parfum sekali semprot.
Aku
melirik jam di ponselku. Mataku terbelalak. Sepuluh menit lagi jam 7. Bagaimana
mungkin aku tidak menyadarinya? Aku belum sholat maghrib.
“Ndy..
Ndy.. sholat yuk? Keburu isya ini,” kataku sambil mencolek pundaknya.
“Apa?”
kata Andy setengah terpejam sambil mendekatkan telinganya kepadaku.
“Juna,
minum ini dulu dong. Penawaran special
dariku.” Selena masih saja memegang gelas minuman di tangannya.
“Ah,
maaf… Se.. Selena.. nanti saja.” Aku mencoba menolaknya secara halus. Walaupun
aku baru pertama kali datang ke tempat seperti ini, aku tidak bodoh untuk
menebak kalau minuman itu mengandung alkohol. Sangat biasa di tempat-tempat
seperti ini. Seperti film-film di televisi.
“Jun,
minum dululah. Masa kau tega nolak
traktiran dari Selena? Kau jangan bego jadi cowok,” kata Andy sambil
menghembuskan asap nikotin ke arahku.
“Tapi
Ndy, kita belum…”
“Iya..
iya.. aku ngerti. Sekarang kau minum dulu minuman itu. Setelah itu baru nanti…”
“Silakan
Juna. Nggak apa-apa kok. Minuman ini nggak ada racunnya dan dijamin mantap,”
kata Selena sambil tertawa. Bahkan tawanya pun sangat manis.
Yah.. mungkin sesekali mencobanya tidak masalah. Hanya
satu gelas juga.
“Bagaimana
rasanya?”
Pahit di tenggorokan. Minuman apa ini? Kenapa Andy dan
teman-temannya terlihat begitu menikmati?
“Sekali
lagi Jun. Satu gelas mana terasa,” kata Andy sambil menggak habis minuman di
dalam gelasnya. Selena juga menyodorkan satu gelas lagi kepadaku. Tetap dengan
senyumnya yang sangat manis. Aku menerima gelas itu dan cairan di dalamnya
kembali masuk ke tenggorokanku untuk yang kedua kalinya.
[]
Hati
manusia memang bisa dibolak-balik oleh Sang Pencipta. Ujian hidup manusia
memang beragam. Kau pasti sudah bisa menebak bagaimana Juna setelah itu? Ya,
kau benar. Juna mulai menikmati dunia barunya bersama teman SMA-nya, Andy. Uang
saku yang dikirim orangtua Juna setiap bulan, selalu habis secara kilat. Juna
selalu mempunyai seribu alasan untuk membohongi kedua orangtuanya. Tanpa ia
sadari, sepasang sayap di punggungnya mulai berubah menjadi hitam.
[]
Aku baru
sadar dengan sayap di punggungku yang sekarang berubah. Aneh. Kenapa jadi hitam
begini? Ah, masa bodohlah. Sebentar lagi Selena akan datang menjemputku. Malam
ini mungkin malam terakhir kekasihku yang cantik itu datang menjemput karena
Ayah sudah berjanji akan mengantarkan motor baru akhir minggu depan ke kos.
Sebenarnya selama ini aku berusaha menelan gengsi mati-matian. Sengaja bermuka
tembok mendengar ejekan beberapa teman kos yang melihatku di jemput Selena.
Seharusnya aku yang menjemputnya. Yah.. mau bagaimana lagi? Masa aku harus
menjemput Selena pakai angkot? Yang benar saja? Sama sekali tidak keren.
Selena
sudah datang. Ia memang selalu cantik. Tidak salah memang aku menjadikannya
sebagai pacar. Beruntung sekali aku ini. Padahal banyak cowok yang mengincar
Selena, tapi aku, cowok biasa tanpa kendaraan pribadi yang memenangkan hatinya.
Ah, cinta memang tidak butuh logika, seperti sebuah lagu yang penyanyinya aku
lupa namanya.
“Sudah
siap, Say?” kataku sambil melihat Selena yang duduk manis di belakangku.
“Yuk.”
Cewek itu melingkarkan kedua tangannya di perutku. Aku tersenyum sambil menarik
gas pelan. Motor pun melaju dengan cepat setelahnya.
[]
Juna
memang hingga detik ini tidak tahu apa makna dari sayap-sayap yang selama ini
ia lihat. Sang Maha Tahu memang sengaja merahasiakannya. Ia hanya memberikan
kemampuan istimewa itu saja tanpa harus memberinya pengertian. Juna juga tidak
sadar sayap di punggungnya, juga sepasang sayap di punggung Selena, pelan-pelan
mulai berjatuhan seperti terbawa angin oleh motor yang melesat menembus jalanan
malam.
Ya, Juna
memang tidak tahu karena Sang Pemilik Rahasia telah merahasiakannya.
[]
Selena
semakin erat memeluk perutku. Aku tersenyum dibuatnya. Ah, malam ini
benar-benar indah. Selena memang selalu membuatku senang. Aku semakin semangat
memutar gas di tangan. Aku ingin malam ini tidak akan pernah berakhir.
[]
Sang
Penulis Takdir memang telah menuliskan takdir Juna seperti ini. Kematian memang
tidak ada yang tahu kapan datangnya kecuali Sang Pemilik Kehidupan yang
menuliskan garis takdir setiap makhluknya. Ya, kau benar. Motor yang dikendarai
Juna mengalami kecelakaan. Malam itu memang jalanan cukup lengang. Juna dengan
santainya menerobos lampu merah, tanpa menyadari ada mobil yang melaju kencang
dari arah kiri.
Sepasang
sayap di punggung Juna dan Selena sempurna berguguran. Kini punggung keduanya
tidak lagi memiliki sayap. Juna dan Selena terkapar kaku di jalanan yang sepi
dengan merah darah di mana-mana.
Sayap
itu adalah tandanya. Sayap yang berguguran adalah takdir yang akan segera
berakhir. Ya, itulah sayap kematian. Sayap putih adalah tanda keimanan. Semakin
berkilau sayap itu, artinya semakin dekat sang pemilik sayap dengan Sang Maha
Pemberi. Sebaliknya sayap hitam adalah tanda bahwa pemiliknya semakin jauh dari
Sang Pencipta.
Andai
Yang Maha Tinggi memberi tahu rahasia itu kepada Juna. Tentu saja mustahil
karena rahasia itu selamanya akan tetap menjadi rahasia. Tidak ada satupun
makhluk yang boleh mengetahui rahasia itu. Biarlah tetap menjadi rahasia.
Rahasia-Nya.[]
Yogyakarta, 3 Januari 2014