oleh: Asni Ramdani
Fimadani.com - Tidak
mudah merangkai kata menjadi sebuah makna yang ringkas dan bernas, seperti juga
tak semudah bertutur dengan diksi alami yang bernurani dan menyejukkan hati.
Umar bin Khattab pernah bernasihat: “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu,
karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani”.
Dalam
lingkup putaran waktu, sejarah tak pernah berhenti menyajikan kisah-kisah baru,
menghimpun kumpulan peristiwa yang menjadi teladan umat manusia. Bukankah
sejarah yang sesungguhnya merupakan industri para pahlawan? sedang kita sendiri
seringkali terlalu cepat menerjemahkan apa itu arti “pahlawan”, baik pahlawan
berupa sosok pemimpin atau orang biasa yang begitu penting bagi kita.
Dalam
buku Mencari pahlawan Indonesia Anis Matta menuliskan: “Dalam skala peradaban,
setiap bangsa bergiliran merebut piala kepahlawanan. Mereka selalu muncul di
saat-saat sulit, atau sengaja Allah “lahirkan” mereka di tengah situasi yang
sulit. Poin pertama: kepahlawanan adalah piala yang direbut, sedang poin kedua:
Allah melahirkan mereka di saat-saat yang sulit. Bila diresapi, jiwa
kepahlawanan tentulah bukan sembarang pengakuan diri, pada kenyataannya Allah
akan menghadiahkan piala yang direbut bagi mereka yang telah berusaha, hal ini
tentu mengandung nilai perjuangan yang perlu diikhtiarkan dan tentu akan ada
yang terkorban. Teringat sebuah lirik nasyid Sahabat Perjuangan yang
dibawakan oleh munsyid Tazakka, berikut potongan liriknya:
Perjuangan
itu artinya berkorban..
Berkorban
itu artinya terkorban..
Janganlah
gentar untuk berjuang..
Demi
agama dan bangsa..
Inilah
jalan kita..
Bila direnungi, sekilas tersirat nilai kepahlawanan dalam potongan lirik
tersebut, Perjuangan itu artinya berkorban, berkorban itu artinya terkorban.
Nampaknya syair tersebut ada benarnya, bahwasanya setiap yang berkorban
pastilah ada yang terkorban, di sinilah hakikat pahlawan yang sebenarnya,
situasi sulitlah yang menjadikan ia berbeda dengan obesi para pahlawan yang
lain, di mana sebuah pencapaian membutuhkan peluh dan keikhlasan hati.
Pemberani
Pahlawan
sejati adalah mereka yang pemberani, berani mengibarkan bendera Allah demi
sebuah kebenaran hakiki. Ia akan senantiasa merendah dan menghargai sebuah
pencapaian sekecil apapun itu, mensyukuri keadaan dan memaksimalkan potensi.
Analoginya pahlawan terkadang seperti malaikat, senantiasa taat kepada Rabbnya.
Sifat tersebut sebagian bisa kita temui di sekitar kita. Pernahkah kalian
mendapati pahlawan yang paling dekat denganmu? Ia tak tertulis dalam sejarah
dunia, namun terukir dalam catatan para malaikat.
Sebuah
kenyataan, barangkali kita sering keliru dalam menyikapi sebuah fenomena di sekitar
kita tersebut. Banyak orang berlomba menyeru kebaikan, namun tidak sedikit yang
bermaksiat. Dalam hal ini seorang pahlawan tidak akan melihat seseorang yang
tengah bermaksiat sebagai seorang musuh, pahlawan hanya akan berbatin:
“Saudaraku itu tengah diculik oleh setan, maka aku perlu membantu untuk
membebaskannya”. Dengan pemikiran tersebut, pahlawan tidak akan memposisikan
dirinya lebih baik dari orang yang bermaksiat, justru ia akan mengartikan
saudaranya tadi adalah tawanan setan yang perlu ditolong agar bebas dari
jeratan anak iblis.
Bila
benar keberanian merupakan fitrah yang tertanam pada diri seseorang atau
karunia Allah yang diterimanya melalui sebuah proses latihan, maka semakin
kemari keduanya akan semakin terpaku kuat pada diri dan keyakinan mereka. Sifat
itu akan terlihat dari cerminan cinta terhadap prinsip dan jalan hidupnya,
kepercayaan pada dunia akhirat dan kebenaran rindu yang menderu pada Allah Ta’ala
– Tuhan semesta alam.
Pahlawan
dari generasi sahabat mempunyai daya cipta sarana materi dalam tiga wilayah,
“Di medan perang, dalam percaturan politik dan di dunia bisnis” papar Anis
Matta. Bagi Abu Bakar dan Utsman bin Affan menginfakkan keseluruhan hartanya
adalah hal yang biasa, karena mereka yakin pada kemampuan daya cipta sarana materi
yang tidak lain adalah mutlak pemberian Allah, oleh karenanya ia tidak enggan
bersedekah dan mantap untuk memulai usahanya kembali.
Memimpin
dan Berbisnis
Bertutur
Umar Bin Khattab, r.a. dengan kepiawaiannya: “Tak ada pekerjaan yang paling aku
senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari bisnis.” Itu mengapa dalam
kisah para sahabat, kita dapat mendapati bahwa sosok Umar bin Khattab dan
Abdurrahman bin Auf selalu menyedekahkan 50% dari hartanya untuk ummat. Umar
bin Khattab dan Khalid bin Walid; dari keduanya kita dapat mengambil
pembelajaran bahwa seorang petarung dan pemimpin sejati, tak enggan untuk
berbisnis, dan semua itu mereka lakukan untuk kontribusi pencapaian
kesejahteraan ummat.
Ikhlas
Gambaran
ini menjelaskan kita bahwa hakikat kepahlawanan amatlah luas dan bersinergi, di
mana keikhlasan, pengorbanan dan keberanian tak bisa dipisahkan. Bijaknya kita
dapat memetik hikmah dari kebijaksanaan para generasi sahabat, hingga bila kita
letakkan pada keadaan nyata di pertarungan pemikiran pada masa kini, tentu
dibutuhkan jiwa-jiwa pahlawan yang tulus dan bergairah, sehingga pantas meniru
perjuangan para sahabat yang bukan hanya mampu memenangkan seluruh pertempuran,
melainkan juga menciptakan kemakmuran setelah mereka berkuasa.
Pahlawan
mukmin sejati tidak akan menyiakan energi mereka untuk memikirkan apakah
nantinya ia akan diletakkan dalam sejarah kehidupan manusia atau diabadikan
dengan liang lahat para pahlawan, karena tentu itu hanya harapan semu, yang
mereka pikirkan tidak lain adalah bagaimana meraih gelar muttaqien di
hadapan Allah SWT. Hal ini dapat diraih hanya dengan keikhlasan, karena inilah
yang membedakan para pahlawan Allah dengan pahlawan sekuler, pada titik puncak
mereka bisa jadi sama-sama dijerat dalam jeruji besi, bahkan tergantung dalam
tiang gantungan, namun pahlawan sekuler hanya fana di dunia manusia, sedang
pahlawan Allah akan terkenang di surgaNya.
Allahu a’lam bishowab
0 komentar:
Posting Komentar