Sabtu, 11 Januari 2014

Pentingnya Sahabat bagi Iman Anak Kita

Oleh: Asni Ramdani


“Ketika yang dimiliki seorang anak bukan hanya pengetahuan melainkan iman maka hal tersebut akan menjadi sensor, ketika yang dimiliki hanya pengetahuan maka ia mampu menjelaskan banyak hal tetapi kurang peka apabila ada hal yang menyimpang dan merisaukan dari lingkungan sekitar, namun ketika ia memiliki iman maka ia akan berusaha untuk berbenah dan membenahi diri.” 
(Ustadz Mohammad Fauzil Adhim)

Islamedia - Berkah atau tidaknya segala sesuatu yang dapat menjawabnya adalah iman. Ketika dalam hati seseorang masih bersemayam iman maka segala hal yang mereka kerjakan akan berporos pada pencapaian keridhoan Allah. Iman yang ada dalam hati seorang anak adalah mutlak pemberian Allah, akan tetapi penanggung jawab utama sebagai penyuplai nutrisi iman mereka tidak lain adalah kedua orang tuanya.

Pembicaraan mengenai dunia anak nampaknya tidak akan pernah selesai dibahas, bahkan oleh "profesor" parenting sekalipun. Mengapa demikian? Karena amanah untuk mendidik anak sungguh tidak semudah menjalankan profesi yang lain, terutama tugas seorang ibu untuk membimbing anak dan menjaga nama baik keluarga sangat utama dibanding berbagai amanah lain yang memang tidak kalah penting.

Kita dapat memetik hikmah dari sebuah kisah persahabatan antara seorang anak  bernama Mohammad Husein dan Azzam Abdul Salam hingga beriak menjadi persahabatan kedua orang tua mereka yakni Ustadz Mohammad Fauzil Adzim dan Dr. Subhan Afifi. Husein dan Azzam adalah dua orang sahabat yang sama-sama mengenyam pendidikan di sebuah pesantren. Azzam adalah anak yang cukup pendiam sedangkan Husein cukup bersemangat, meski mempunyai karakter yang berbeda namun keduanya saling melengkapi. Suatu ketika saat di dalam mobil mereka mendiskusikan masalah hukum status gambar makhluk hidup yang tertuang dalam cover buku ayahnya, pembicaraan mereka merembet sampai masalah iltizam terhadap sunnah. Saat itu ayahnya yang tengah menyetir mobil hanya bisa berpura mengalihkan perhatian sambil terharu, lalu Husein hanya menjawab dengan dialog bahasa Arab mereka, yang intinya: "Abah ana hanya menulis, bukan mengemasnya", kholas - selesai.

Kisah kedua masih tentang persahabatan, suatu ketika Azzam dan Husein kecil yang masih duduk di kelas 1 tersebut tengah berada dalam sebuah angkot, saat itu Husein berkata suatu hal yang kurang baik, lalu ummu Azzam mengirimkan sms pada suaminya agar ia menyampaikan kejadian tadi kepada ayah Azzam sehingga putranya dapat diberikan nasihat. Sejak saat itu terjalinlah komitmen mendidik anak yang saling menyokong antara kedua orang tua Azzam dan Husein. Dari kedua potongan kisah tadi kiranya terdapat sebuah ibroh yang dapat kita petik akan pentingnya peran orang tua dalam pengetahuan yang berlandaskan iman.

Ustadz Fauzil Adhim menyampaikan, “Menyiapkan pendidikan anak itu tidak bisa instan, kalau semua serba instan bisa jadi hasilnya pun akan serba instan juga. Menyiapkan pendidikan anak justru sejak kita mencari pasangan, setelah menikah sampai telah dikaruniai anak-anak”. Bagaimana memilih sahabat untuk anak rupanya perlu diperhatikan dalam ikhtiar persiapan nutrisi iman bagi mereka, sahabat seorang anak mempunyai pengaruh yang luar biasa, terlebih bila kedua orang tua mereka juga ikut bersahabat, "itu akan sangat dahsyat", papar Ustadz Dr. Subhan Afifi. Karena harapan kita persahabatan bukan hanya terukir di dunia melainkan sampai di akhirat.

Mengutip Pesan nabi: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholih” (HR. Muslim no. 1631)

Poin ketiga dari hadist tersebut adalah do'a anak sholih. Catatannya adalah setiap anak harus menjadi sholih dahulu agar mau mendoakan kedua orang tuanya. Tentunya untuk menjadikan anak sholih bukanlah hal yang mudah, terlebih kita sendiri masih tertatih mensholihkan diri, meski begitu bukan tidak mungkin untuk mewujudkan harapan tersebut, karena bukankah kesholihan seorang anak mutlak ketentuan Allah? Sebagai pembina atau orang tua kita bertugas memberikan peringatan dan pola pengasuhan serta pendidikan yang terbaik. Hal ini dapat diwujudkan dengan proses yang tidak cepat, belajar parenting sejak dini bukan secara instan, sehingga layaklah disebut sebagai tipe orang tua pejuang.

Mudahnya ciri orang tua pejuang antara lain ketika seorang ibu memilih melahirkan dengan normal dan sepenuh hati merawat kandungannya, mulai dari telaten menjaga jabang bayi, menjaga kesehatan diri, hingga proses melahirkan. Dalam proses ini seorang ibu pejuang tidak takut untuk merasakan rasa sakit, bahkan bisa jadi sakit yang luar biasa. Meski begitu di luar sana bukankah jutaan ibu tetap tersenyum selepas melihat bayinya lahir. Di sisi lain salah satu ciri ayah pejuang adalah dengan keberanian memilih budaya belajar anak dengan sebuah proses panjang hingga tertuang pengetahuan dan iman pada anak, bukan semata mengejar prestasi dan nilai, dalam hal ini seorang ayah akan senantiasa memberikan siraman pendidikan agama bagi anak, karena tidak ada kedewasaan dan kemampuan disertai iman yang terbentuk secara instan tanpa persiapan, begitu petuah yang Ustadz Faudzil dan Dr. Subhan paparkan.

Sedikit renungan, apalah yang kita harapkan kala usia kita sudah senja nanti? ketika tubuh kita sudah tak leluasa untuk digerakkan selain kehadiran dan do'a mereka. Nampaknya pertanyaan itu dapat terjawab ketika kita sebagai orang tua nanti sungguh ikhlas memperhatikan dan membimbung anak-anak kita, bukan justru pembantu atau asisten yang lebih dita’ati oleh anak tersebab kealpaan kita dalam menyeduhkan perhatian kepada mereka. Terakhir, ada sebuah pertanyaan yang patut untuk kita renungkan: Siapakah yang akan mereka sembah setelah orang tuanya tiada? Membekalkan iman? iman kita teramat kerdil, membekalkan ilmu agama? miskin sekali pengetahuan agama kita. Di sisi lain, di luar sana banyak tawaran-tawaran menarik terkait trik membentuk diri agar anak menjadi seorang yang pintar dan hebat secara cepat. Bismillah, sebagai seorang anak yang peduli dengan perjuangan para orang tua, mari bersama terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik di mata Allah.
Allahu a'lam Bishawab.

Dan [ingatlah] ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan [Allah] sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Luqman [31]:13)

Rujukan (maraji’): Buku Segenggam Iman Anak Kita

0 komentar:

Posting Komentar